Muqaddimah. Inilah karya monumental Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan dan sejarawan agung pada abad ke-14 M. Buku yang ditulis pemikir dari Tunisia, Afrika Utara itu tercatat sebagai karya yang sangat mengagumkan. Pengaruhnya begitru luar biasa, tak hanya mewarnai pemikiran di dunia Islam, namun juga peradaban Barat.
Orang Yunani menyebut karya Ibnu Khaldun itu sebagai Prolegomena. Sejumlah pemikir sepakat bahwa Muqaddimah adalah karya pertama yang mengkaji filsafat sejarah, ilmu-ilmu sosial, demografi, histografi serta sejarah budaya. IM Oweiss dalam karyanya bertajuk Ibn Khaldun: A fourteenth-Century Economist menilai, Muqaddimah merupakan salah satu buku perintis ekonomi modern.
Selain itu, Ibnu Khaldun dalam adikaryanya itu juga membedah dan mengupas masalah teologi Islam. Yang lebih menarik lagi, Ibnu Khaldun pun membahas sains atau ilmu pengetahuan alam dalam kitabnya yang sangat populer itu. Secara khusus, Ibnu Khaldun mengupas tentang studi biologi dan kimia dalam bab tersendiri mengenai ilmu pengetahuan alam.
Biologi
Teodros Kiros dalam karyanya Explorations in African Political Thought, mengatakan, dalam bidang biologi secara khusus Ibnu Khaldun membahas masalah teori evolusi. Menurut Khaldun, dunia ini dengan segala isinya memiliki urutan tertentu dan susunan benda. Ia mencoba mencoba mengaitkan antara penyebab dan hal-hal yang disebabkan, kombinasi dari beberapa bagian penciptaan dengan yang lain, dan transformasi dari beberapa wujud menjadi sesuatu yang lain.
Selain itu, Ibnu Khaldun juga membahas penciptaan dunia. Menurut dia, makhluk hidup berawal dari sebuah mineral kemudian berkembang dan berakal. Secara bertahap, kemudian berubah menjadi tanaman dan hewan. "Tahap terakhir mineral ''terhubung'' dengan tahap pertama dari tanaman, seperti tumbuhan dan tanaman tak berbiji,'' tutur Ibnu Khaldun.
Tahap terakhir tanaman, lanjut dia, seperti pohon kelapa dan tumbuhan yang merambat (pohon anggur), terhubung dengan tahap pertama binatang, seperti keong (siput) dan kerang yang hanya memiliki kekuatan sentuh.
Menurut Ibnu Khaldun, dunia binatang kemudian semakin meluas menjadi berbagai jenis. Dalam proses penciptaan bertahap, hewan/binatang akhirnya mengarah ke bentuk manusia, yang mampu berpikir dan mengartikan. "Tahap tertinggi manusia dicapai dari dunia kera, di mana kedua kecerdasan dan persepsi ditemukan, namun belum mencapai tahap refleksi dan berpikir sebenarnya," tutur Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldunternyata seorang penganut determinisme lingkungan. Dia menjelaskan bahwa kulit hitam itu disebabkan oleh iklim panas dari gurun Sahara Afrika dan bukan karena keturunan. "Dia justru menghalau teori Hamitic, di mana anak-anak Ham yang dikutuk oleh makhluk hitam, sebagai mitos," jelas Chouki El Hameldalam karyanya Race, slavery and Islam in Maghribi Mediterranean thought: the question of the Haratin in Morocco.
Kimia
Menurut George Anawati, dalam bidang kimia, Ibnu Khaldun adalah seorang kritikus praktik kimia pada dunia Islam. "Dalam bab 23 berjudul Fi 'Ilm al-kimya, ia membahas sejarah kimia, yang dilihat dari ahli kimia seperti Jabir ibnu Hayyan (721-815 M), dan teori dari perubahan logam dan elixir (obat yang mujarab) kehidupan. " ungkap Anawati dalam karyanya Arabic Alchemy.
Anawati menambahkan dalam bab 26 Kitab Muqaddimah yang berjudul thamrat Fi inkar al-kimya wa istihalat wujudiha wa ma yansha min al-mafasid, Khadlun menulis sebuah sanggahan sistematis tentang kimia dalam sosial, ilmiah, filosofis dan dasar agama.
"Dia mengawali sanggahan pada dasar sosial, argumentasi bahwa banyak ahli kimia yang mampu mendapatkan penghasilan dari hidup karena pemikiran yang menjadi kaya melalui kimia dan akhirnya kehilangan kredibilitas," papar Anawati.
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa beberapa ahli kimia terpaksa melakukan penipuan, baik secara terbuka dengan menggunakan sedikit lapisan emas/perak di atas perak/perhiasan tembaga maupun secara diam-diam menggunakan prosedur yang melapisi pemutihan tembaga dengan menyublimasi raksa. Meski begitu, ia mengakui bahwa ada saja ahli kimia yang jujur.
Ibnu Khaldun juga mengkritisi pandangan dan teori tenteng kimia yang dicetuskan al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Tughrai. "Ilmu pengetahuan manusia tak berdaya bahkan untuk mencapai yang terendah sekalipun, kimia menyerupai seseorang yang ingin menghasilkan manusia, binatang atau tanaman."
Anawati mengatakan, dalam mengkritisi ilmu kimia, Ibnu Khaldun pun menggunakan sosial logikanya. Anawati menuturkan bahwa Ibnu Khaldun dalam kitabnya menegaskan bahwa kimia hanya dapat dicapai melalui pengaruh psikis (bi-ta'thirat al-nufus). Hal yang luar biasa menjadi salah satu keajaiban dari ilmu gaib/ilmu sihir (rukiat) ... Mereka tak terbatas, tak dapat diklaim untuk mendapatkan mereka."
Prof Hamed A EAD, dari Universitas Kairo dalam tulisannya bertajuk Alchemy in Ibn Khaldun's Muqaddimah mengatakan bahwa Ibnu Khaldun mendefinisikan kimia sebagai "ilmu yang mempelajari zat yang mana generasi emas dan perak tiruan bisa diciptakan.''
Begitulah Ibnu Khaldun mengupas ilmu pengetahuan alam dalam karyanya yang sangat fenomenal, Al-Muqaddimah.
Biologi
Teodros Kiros dalam karyanya Explorations in African Political Thought, mengatakan, dalam bidang biologi secara khusus Ibnu Khaldun membahas masalah teori evolusi. Menurut Khaldun, dunia ini dengan segala isinya memiliki urutan tertentu dan susunan benda. Ia mencoba mencoba mengaitkan antara penyebab dan hal-hal yang disebabkan, kombinasi dari beberapa bagian penciptaan dengan yang lain, dan transformasi dari beberapa wujud menjadi sesuatu yang lain.
Selain itu, Ibnu Khaldun juga membahas penciptaan dunia. Menurut dia, makhluk hidup berawal dari sebuah mineral kemudian berkembang dan berakal. Secara bertahap, kemudian berubah menjadi tanaman dan hewan. "Tahap terakhir mineral ''terhubung'' dengan tahap pertama dari tanaman, seperti tumbuhan dan tanaman tak berbiji,'' tutur Ibnu Khaldun.
Tahap terakhir tanaman, lanjut dia, seperti pohon kelapa dan tumbuhan yang merambat (pohon anggur), terhubung dengan tahap pertama binatang, seperti keong (siput) dan kerang yang hanya memiliki kekuatan sentuh.
Menurut Ibnu Khaldun, dunia binatang kemudian semakin meluas menjadi berbagai jenis. Dalam proses penciptaan bertahap, hewan/binatang akhirnya mengarah ke bentuk manusia, yang mampu berpikir dan mengartikan. "Tahap tertinggi manusia dicapai dari dunia kera, di mana kedua kecerdasan dan persepsi ditemukan, namun belum mencapai tahap refleksi dan berpikir sebenarnya," tutur Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldunternyata seorang penganut determinisme lingkungan. Dia menjelaskan bahwa kulit hitam itu disebabkan oleh iklim panas dari gurun Sahara Afrika dan bukan karena keturunan. "Dia justru menghalau teori Hamitic, di mana anak-anak Ham yang dikutuk oleh makhluk hitam, sebagai mitos," jelas Chouki El Hameldalam karyanya Race, slavery and Islam in Maghribi Mediterranean thought: the question of the Haratin in Morocco.
Kimia
Menurut George Anawati, dalam bidang kimia, Ibnu Khaldun adalah seorang kritikus praktik kimia pada dunia Islam. "Dalam bab 23 berjudul Fi 'Ilm al-kimya, ia membahas sejarah kimia, yang dilihat dari ahli kimia seperti Jabir ibnu Hayyan (721-815 M), dan teori dari perubahan logam dan elixir (obat yang mujarab) kehidupan. " ungkap Anawati dalam karyanya Arabic Alchemy.
Anawati menambahkan dalam bab 26 Kitab Muqaddimah yang berjudul thamrat Fi inkar al-kimya wa istihalat wujudiha wa ma yansha min al-mafasid, Khadlun menulis sebuah sanggahan sistematis tentang kimia dalam sosial, ilmiah, filosofis dan dasar agama.
"Dia mengawali sanggahan pada dasar sosial, argumentasi bahwa banyak ahli kimia yang mampu mendapatkan penghasilan dari hidup karena pemikiran yang menjadi kaya melalui kimia dan akhirnya kehilangan kredibilitas," papar Anawati.
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa beberapa ahli kimia terpaksa melakukan penipuan, baik secara terbuka dengan menggunakan sedikit lapisan emas/perak di atas perak/perhiasan tembaga maupun secara diam-diam menggunakan prosedur yang melapisi pemutihan tembaga dengan menyublimasi raksa. Meski begitu, ia mengakui bahwa ada saja ahli kimia yang jujur.
Ibnu Khaldun juga mengkritisi pandangan dan teori tenteng kimia yang dicetuskan al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Tughrai. "Ilmu pengetahuan manusia tak berdaya bahkan untuk mencapai yang terendah sekalipun, kimia menyerupai seseorang yang ingin menghasilkan manusia, binatang atau tanaman."
Anawati mengatakan, dalam mengkritisi ilmu kimia, Ibnu Khaldun pun menggunakan sosial logikanya. Anawati menuturkan bahwa Ibnu Khaldun dalam kitabnya menegaskan bahwa kimia hanya dapat dicapai melalui pengaruh psikis (bi-ta'thirat al-nufus). Hal yang luar biasa menjadi salah satu keajaiban dari ilmu gaib/ilmu sihir (rukiat) ... Mereka tak terbatas, tak dapat diklaim untuk mendapatkan mereka."
Prof Hamed A EAD, dari Universitas Kairo dalam tulisannya bertajuk Alchemy in Ibn Khaldun's Muqaddimah mengatakan bahwa Ibnu Khaldun mendefinisikan kimia sebagai "ilmu yang mempelajari zat yang mana generasi emas dan perak tiruan bisa diciptakan.''
Begitulah Ibnu Khaldun mengupas ilmu pengetahuan alam dalam karyanya yang sangat fenomenal, Al-Muqaddimah.
Dibalik Penulisan Muqaddimah
lbnu Khaldun adalah seorang ilmuwan besar yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H. Ia bernama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Selain dikenal sebagai pemikir hebat, ia juga seorang politikus kawakan.
Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di Qalat Ibnu Salamah, sebuah istana yang terletak di negeri Banu Tajin, selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itulah, Ibnu Khaldun menyelesaikan penulisan karyanya yang sangat fenomenal bertajuk Al-Muqaddimah.
''Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik," ungkap Ibnu Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Tarif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan.
Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah: `Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial."
Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama. Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim. Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur.
Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul al-Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur.
Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.
''Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng," papar Syafii Maarif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Almuqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; "Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang."
Pemikiran Ibnu Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Aguste Comte pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu Khaldun (1332-1406).
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. "Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial," papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon
lbnu Khaldun adalah seorang ilmuwan besar yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H. Ia bernama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Selain dikenal sebagai pemikir hebat, ia juga seorang politikus kawakan.
Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di Qalat Ibnu Salamah, sebuah istana yang terletak di negeri Banu Tajin, selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itulah, Ibnu Khaldun menyelesaikan penulisan karyanya yang sangat fenomenal bertajuk Al-Muqaddimah.
''Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik," ungkap Ibnu Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Tarif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan.
Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah: `Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial."
Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama. Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim. Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur.
Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul al-Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur.
Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.
''Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng," papar Syafii Maarif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Almuqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; "Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang."
Pemikiran Ibnu Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Aguste Comte pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu Khaldun (1332-1406).
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. "Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial," papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon