Assalamu'alikum Wr. Wb
Sebenarnya menjadi seorang pemimpin yang super sangatlah simple, dimana kita harus mengikuti wahyu-wahyu ALLAH SWT yang sudah dikomplitkan tertera dalam Al-Qur'anul Karim. Tapi apalah faktanya? kita enggan meempelajarinya. Tapi mudah-mudahan dengan artikel ini kita semua bisa memperlajarinya karena artikel ini sengaja saya rangkum dari perjalanan Rasulullah Muhammad SAW dan juga sahabat-sahabatnya yang super (Khulafaurasyidin).
1. Meneladani Kepemimpinan Rasulullah SAW
Pengantar
Allah SWT telah menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan terbaik bagi kaum Muslim dalam segala hal, mulai dari masalah rumah tangga hingga masalah negara. Sayang, banyak umatnya enggan meneladani beliau. Mereka lebih memilih untuk mencontoh dan mengikuti figur lain—termasuk dalam masalah kepemimpinan dalam konteks kenegaraan—yang sikap dan pemikirannya justru bertentangan dengan Islam.
Sifat-sifat Rasulullah
Tak terbilang pujian yang disematkan kepada Rasulullah saw. atas kesuksesan beliau dalam memimpin umatnya. Bukan hanya dari umat Islam, pujian juga dari orang-orang kafir yang memusuhinya
. Kesuksesan tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari pribadi beliau yang penuh dengan sifat mulia dan sistem kepemimpinan yang dibimbing wahyu. Beberapa sifat beliau dalam aspek kepemimpinan antara lain: Pertama, komitmen yang tinggi dalam mewujudkan risalah dalam kehidupan. Rasulullah saw. tidak sekadar diperintahkan untuk menyampaikan risalah Islam yang diwahyukan kepadanya, namun juga diperintahkan untuk menerapkannya sehingga menjadi dominan dalam kehidupan ini. Berbagai cobaan dan tantangan menghadang beliau, namun langkahnya tidak pernah surut.Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam, ketika Rasulullah menyampaikan Islam kepada orang-orang Makkah, reaksi mereka biasa saja. Namun, ketika beliau menyebut dan mengkritik sesembahan mereka, Rasul pun dikecam dan ditentang, bahkan mereka bersepakat untuk memusuhinya. Sejumlah delegasi Qurays juga mendatangi paman beliau agar menghentikan sikap keponakannya itu. Jika tidak, mereka sendiri yang akan mencegahnya. Namun, Rasulullah tetap tak bergeming. Beliau hanya mengatakan, “Demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kanan saya dan bulan ditangan kiri saya, sungguh saya tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkan urusan (agama) ini atau saya mati karenanya.”1
Hal yang sama juga tampak pada saat beliau hendak ke Makkah, kemudian beliau melakukan Perjanjian Hudaibiyah. Orang-orang Qurays berkumpul untuk mencegah kedatangan beliau. Mendengar hal tersebut beliau bersabda: “…Demi Allah, saya akan selalu berjihad memperjuangkan apa yang Allah utus saya untuk hal itu hingga Ia memenangkannya atau leher ini terputus (mati).”2
Inilah visi utama (al-qadhiyyah al-mashîriyyah) Rasulullah saw. Dalam memenangkan Islam atas seluruh agama dan ideologi lainnya.
Kedua, berani dalam menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya. Keberanian beliau tampak jelas dalam setiap aktivitas yang diterjuninya, baik dalam urusan militer maupun non-militer.3Beliau merupakan sosok yang berani menghadapi berbagai situasi yang berbahaya meski kadang mengancam jiwanya. Ali ra. beliau berkata: “Kamu telah menyaksikan kami dalam perang Badar di mana kami berlindung di balik Rasulullah saw. Beliau adalah orang yang paling dekat dengan musuh. Pada hari itu beliau adalah orang yang paling banyak menderita.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Syuaib al-Arnauth)
Ketiga, hidup bersahaja. Meski beliau merupakan kepala negara, beliau tetap bersahaja dalam menjalani kehidupannya. Padahal dengan kekuasaan yang dimilikinya beliau dapat saja berperilaku layaknya pemimpin negeri-negeri Islam saat ini yang bergelimang harta dan fasilitas namun abai terhadap rakyatnya. Bahkan ketika meninggal dunia, baju besi beliau masih di tangan seorang Yahudi yang sebelumnya beliau gadaikan untuk mendapatkan makanan senilai 30 sha’gandum. Hal yang sama juga berlaku pada keluarga beliau. Hasan telah meriwayatkan bahwaRasulullah pernah bersabda, “Tidak ada makanan sebanyak satu sha’ yang tinggal sampai sore hari di keluarga Muhammad padahal jumlahnya ada sembilan rumah.”4
Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah saw. duduk di atas tanah, makan di atas tanah, mengikat kambing dan memenuhi undangan para budak.” (HR at-Thabrani dan menurut al-Haitsami sanad hadis ini hasan).
Keempat, melayani dengan kasih sayang. Sikap kasih sayang beliau tidak terbatas hanya kepada keluarga dan para sahabatnya, namun juga kepada umatnya. Bahkan penghormatan beliau terhadap non-Muslim yang hidup dalam Negara Islam juga sangat tinggi. Beliau bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Siapa saja yang membunuh orang mu’ahad (non-Muslim yang terikat perjanjian dengan Negara Islam) tidak akan mencium bau surga, padahal baunya tercium dari jarak 40 tahun perjalanan(HR al-Bukhari dan Ibnu Majah).
Kelima, tegas dalam menerapkan hukum Allah SWT. Rasulullah saw. tidak pernah berpaling sedikit pun dari apa yang diwahyukan Allah, termasuk dalam menerapkan aturan syariah dalam kehidupan publik. Ketika ada seorang wanita terpandang dari Makzumiyah yang mencuri, sejumlah orang melalui perantara Usamah bin Zaid meminta pengampunan kepada Rasulullah saw. Namun, beliau menolak dan bersabda:
وَاللَّهِ لَوْ كَانَتْ فَاطِمَةُ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Demi Allah, andai Fatimah mencuri, niscaya akan saya potong tangannya. (HR Muslim).
Ketegasan lain terhadap pelaksanaan syariah dan tanpa kompromi juga ditunjukkan oleh sikap beliau yang menolak permintaan delegasi Tsaqif yang akan masuk Islam, namun dengan sejumlah syarat. Mereka meminta agar berhala-berhala mereka tidak dihancurkan hingga tiga tahun. Namun, hal itu ditolak oleh beliau. Mereka lalu mereka meminta ditunda setahun, tetapi juga ditolak. Bahkan mereka meminta sebulan, namun lagi-lagi tidak dikabulkan. Mereka lalu memohon agar tidak dibebankan untuk menjalankan shalat, namun lagi-lagi ditolak oleh beliau. Beliau hanya menyetujui satu syarat—yang bersifat teknis—yakni agar berhala-berhala mereka tidak dihancurkan oleh mereka sendiri. Beliau lalu mengutus Abu Sufyan bin Harb dan Mughirah bin Syu’bah untuk menghancurkan berhala-berhala tersebut.5
Keenam, ahli strategi yang ulung. Rasulullah juga dikenal memiliki kecanggihan strategi, baik dalam urusan pemerintahan maupun militer. Dengan kekuataan SDM yang terbatas, beliau dapat menaklukkan jazirah Arab dalam waktu singkat. Untuk menaklukkan Khaibar dan sejumlah suku-suku yang bersekutu dengan Suku Qurays, beliau terlebih dulu mengikat kafir Qurays dengan Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah yang juga dibantu oleh Sahabatnya menerapkan strategi perang yang belum masyhur di jazirah Arab namun efektif mengalahkan musuh, seperti penggunaan parit pada Perang Ahzab, pengepungan Makkah dengan empat jalur penyerangan, dan penggunaandababah dan manjaniq untuk meruntuhkan benteng-benteng Bani Tsaqif dan Thaif.
Sebagai Kepala Negara
Seiring dengan gencarnya ide sekularisme di neger-negeri Islam, agama Islam lalu didoktrinkan sebagai agama yang hanya menjelaskan masalah spiritual. Rasulullah juga dianggap sebagai pemimpin spiritual an sich yang hanya menyampaikan risalah dan bukan sebagai kepala negara. Padahal dalam penelusuran berbagai sisi kehidupan Rasulullah saw., doktrin tersebut sama sekali tidak memiliki pijakan. Sejumlah langkah-langkah beliau pasca hijrah ke Madinah dengan jelas mencerminkan bahwa beliau adalah seorang kepala negara dan bahkan secara menyeluruh hal tersebut diriwayatkan secara mutawir.6 Langkah-langkah tersebut antara lain:
Pertama, beliau melakukan pengaturan dan perjanjian dengan masyarakat Madinah. Dalam Piagam Madinah secara tegas dinyatakan bahwa persoalan apapun yang dihadapi oleh orang-orang beriman maupun orang-orang Yahudi harus dikembalikan kepada Allah dan Muhammad saw.7 Beliau juga mengadakan perjanjian dengan masyarakat di luar Madinah, yaitu dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, Qurays, Penduduk Ailah, Jarba’ dan Adzrah.8
Kedua, beliau mengangkat sejumlah Sahabat untuk menjadi pejabat pemerintahan Mereka antara lain: (a) Mu’awin: Abu Bakar dan Umar; (b) Wali: ‘Atab bin Usaid (Makkah), Badzan bin Sasan (Yaman), Muadz bin Jabal (Janad); (c) ‘Amil: Said bin al-’Ash (Shan’a), Zayyad bin Lubaid (Hadramaut), Abu Musa al-Asy’ary (Zabid dan ‘Aden), Amru bin ‘Ash (‘Amman), Adi bin Hatim (Thai’), ‘Ala bin Hadrami (Bahrain); (d) Qadhi: Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Abu Musa al-’Asy’ary (Yaman), Abdullah bin Naufal (Madinah); (e) Sekretaris Administratif: Ali bin Abi Thalib (perjanjian dan perdamaian), Mu’aiqib (ghanîmah), Hudzaifah al-Yaman (hasil panen Hijaz), Zubair bin Awwam (harta zakat), Mughirah bin Syu’bah (hutang-piutang dan muamalah), Syurahbil bin Hasanah (stempel untuk raja-raja), (f) Majelis Ummah: Hamzah, Abu Bakar, Umar, Ja’far, Ali dll.9
Ketiga, beliau mengutus sejumlah Sahabat untuk menyampaikan seruan kepada raja-raja di luar Madinah agar masuk Islam. Mereka antara lain: Dihyah bin Khalifah (kepada Kaisar Romawi), Abdullah bin Hudzafah (kepada Kaisar Kerajaan Persia), Amr bin Umayyah (kepada Najasyi Raja Habasyah), Hatib bin Abi Balta’ah (kepada Raja Iskandariyyah), Amru bin ‘Ash (kepada Raja Uman) Salith bin Amru (kepada raja Yamamah), ‘Ala bin Hadramy (kepada Raja Bahrain) Syuja’ bin Wahab (kepada Raja di daerah Syam).10
Keempat, beliau mengorganisasi peperangan, baik yang dipimpin langsung oleh beliau atau para Sahabatnya. Menurut catatan Khaththab, perang (gazwah) yang dipimpin sendiri oleh Rasulullah sebanyak 28 kali,11 sementara detasemen (saraya) dan perang yang dipimpin oleh sahabat sebanyak 15 kali.12 Dengan demikian selama 10 tahun kepemimpinan beliau di Madinah, rata-rata dalam setahun ada 4 kali pengerahan pasukan.
Kelima, beliau memutuskan berbagai perkara di Madinah, baik atas kaum Muslim maupun non-Muslim. Nafi’ bertutur: “Rasulullah pernah merajam seorang laki-laki dan perempuan Yahudi.”(HR at-Tirmidzi dan menurut beliau hasan shahih).
Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw. pernah membunuh seorang Yahudi karena membunuh seorang jariyah yang bermaksud mengambil perhiasannya.” (HR al-Bukhari).
Keenam, beliau melakukan berbagai aktivitas pelayan publik seperti pengawasan pasar yang beliau lakukan secara langsung. Beliau mengangkat qâdhi hisbah seperti Said bin Said di pasar Makkah. Samra binti Nuhaik bertugas melakukan amar makruf dan nahi mungkar di pasar serta menghukum pelaku kemungkaran dengan tongkat yang dibawanya.13 Rasulullah juga mengatur masalah kesehatan rakyatnya seperti pelayanan kesehatan bagi mereka yang sakit,14 karantina penyakit dan manajemen kesehatan lingkungan.15
Wajib Meneladani Rasulullah saw
Dengan fakta di atas jelas bahwa Rasulullah saw. tidak hanya seorang nabi yang hanya mendakwahkan Islam, namun juga seorang kepala negara yang mempraktikkan Islam dalam konteks kenegaraan. Kaum Muslim sepeninggal beliau juga melanjutkan sistem pemerintahan tersebut hingga runtuh tahun 1924.
Meneladani Rasulullah dalam segala hal, termasuk dalam sistem kepemimpinan, merupakan sebuah kewajiban. Hal ini secara tegas dinyatakan Allah dalam sejumlah ayat, seperti (QS al-Hasyr [59]: 7). Ayat ini menjelaskan bahwa segala yang dibawa Rasulullah saw.—termasuk sistem pemerintahannya—wajib diambil. Sebaliknya, apapun yang dilarang beliau, tidak boleh diikuti. Indikasi wajibnya mengambil segala yang berasal dari Rasul dan haram mengambil selain yang diajarkannya adalah firman Allah SWT:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya berhati-hati terhadap fitnah atau azab yang pedih yang akan menimpa mereka (QS an-Nur [24]: 63).
Penutup
Kesuksesan Rasulullah saw. dalam memimpin bukan hanya karena kepribadian beliau yang sangat mulia, namun sistem yang dijalankannya juga berdasarkan tuntunan wahyu. Oleh karena itu, pemimpin manapun yang mengidamkan kesuksesan dalam mengatur pemerintahan, namun tidak mengikuti jalan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., tidak hanya akan menuai kegagalan dan kesengsaraan di dunia, namun juga azab yang pedih di akhirat kelak. Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. [Muhammad Ishaq ;Anggota Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI]
Catatan kaki:
1 Abdul Salam Harun, Tahzîb Sîrah Ibnu Hisyâm, Muassasah ar-Risalah (1985), hlm. 58
2 Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, II/309, al-Maktab as-Syamilah
3 Mahmud Syith Khattab, Ar-Rasûl al-Qâid, Dar al-Fikr (2002), hlm. 436.
4 Ibid., hlm. 460.
5 Abdul Salam Harun. Op. cit., hlm. 297.
6 Taqiyuddin an-Nabhany, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah (2002), hal. 127
7 Muh. Rawwas Qal’ah Jie, Sîrah Nabawiyyah, Al Azhar Press (2007), hlm. 162-165.
8 Taqiyuddin an-Nabhany, Op. cit., hlm. 123.
9 Ibid., hlm. 123.
10 Abdul Salam Harun. Op. cit., hlm. 328.
11 Khattab, Op.cit., hlm. 420.
12 Khattab, Op.cit., hlm. 322.
13 Al- Kattany, At-Tarâtîbu al-Idâriyyah, Syirkah al-Arkam bin Abi al-Arkam (tt), hlm. 239.
14 Ibid., hlm. 256.
15 Ibid., hlm. 358.
(Sumber: hizbut-tahrir.or.id)