Mengeluh tanda tak mampu. Mengeluh sama saja dengan bunuh diri. Mengeluh adalah satu kata yang bernada pesimisme. Kata ini identik dengan sesuatu yang negatif. Tapi benarkah seperti itu? Selalukah mengeluh punya makna yang salah sehingga harus dihindari?
Tiap kita dihadapkan pada satu persoalan dan tantangan keluhan selalu membayangi kita. Jika tantangan hidup yang dihadapi mudah, barangkali keluhan tidak muncul. Tapi, jika yang dihadapi adalah sebuah persoalan yang pelik, keluhan tak susah untuk keluar dari mulut kita. "Aduh, susah ya," atau, "Kenapa saya selalu dapat cobaan?" Inilah sebentuk keluhan.
Kata "Saya tidak bisa," yang keluar dari mulut kita adalah sebuah bentuk penyerahan diri terhadap ketidakmampuan. Kita enggan berusaha jika dalam otak dan pikiran kita tertanam kata-kata "Tidak Bisa". Ketika kata-kata itu telah tertanam, maka selanjutnya adalah malas berusaha. Mengeluh kemudian diikuti tindakan menyerah. Inilah manusia.
Mengeluh itu wajar. Mengeluh itu manusiawi. Tapi,*hal ini menjadi tidak wajar ketika dilakukan terus-menerus. Bukankah akan sangat tidak wajar dan merepotkan ketika tiap ada persoalan kita selalu mengeluh? Bukan jadi satu pemecahan pula mengeluh itu. Bahwa tiap dari manusia itu ada persoalan, semua sudah paham. Itu itu tantangan dan penuh persoalan. Jadi berhentilah mengeluh. Terutama kepada manusia.
Jika memang keluh kesah adalah bentuk ketidakberdayaan. Dan itu tidak baik, maka itu tidak bisa dilakukan. Pantang bagi manusia untuk mengeluh kepada sesamanya. Namun, ada satu keluhan yang bisa kita lakukan. Mengeluh kepada Tuhan, Sang Maha Penguasa pemberi kehidupan, adalah baik.Bukankah Tuhan memang senang ketika ada hambanya yang mengeluh kepada-Nya?
Marilah mengeluh kepada-Nya. Karena dengan mengeluh kepada-Nya lah kita akan benar-benar paham kekurangan dan menjadikan kita senantiasa berserah diri. Manusia itu lemah. Dan manusia itu kecil dengan segala ketidakberdayaannya. Maka dari itu, wajib bagi kita, manusia, mengeluh kepada yang memberi kehidupan. Berserah diri dengan mengakui secara terus terang segala kekurangan kita kepada Tuhan adalah sebentuk keluhan yang indah.
Tiap kita dihadapkan pada satu persoalan dan tantangan keluhan selalu membayangi kita. Jika tantangan hidup yang dihadapi mudah, barangkali keluhan tidak muncul. Tapi, jika yang dihadapi adalah sebuah persoalan yang pelik, keluhan tak susah untuk keluar dari mulut kita. "Aduh, susah ya," atau, "Kenapa saya selalu dapat cobaan?" Inilah sebentuk keluhan.
Kata "Saya tidak bisa," yang keluar dari mulut kita adalah sebuah bentuk penyerahan diri terhadap ketidakmampuan. Kita enggan berusaha jika dalam otak dan pikiran kita tertanam kata-kata "Tidak Bisa". Ketika kata-kata itu telah tertanam, maka selanjutnya adalah malas berusaha. Mengeluh kemudian diikuti tindakan menyerah. Inilah manusia.
Mengeluh itu wajar. Mengeluh itu manusiawi. Tapi,*hal ini menjadi tidak wajar ketika dilakukan terus-menerus. Bukankah akan sangat tidak wajar dan merepotkan ketika tiap ada persoalan kita selalu mengeluh? Bukan jadi satu pemecahan pula mengeluh itu. Bahwa tiap dari manusia itu ada persoalan, semua sudah paham. Itu itu tantangan dan penuh persoalan. Jadi berhentilah mengeluh. Terutama kepada manusia.
Jika memang keluh kesah adalah bentuk ketidakberdayaan. Dan itu tidak baik, maka itu tidak bisa dilakukan. Pantang bagi manusia untuk mengeluh kepada sesamanya. Namun, ada satu keluhan yang bisa kita lakukan. Mengeluh kepada Tuhan, Sang Maha Penguasa pemberi kehidupan, adalah baik.Bukankah Tuhan memang senang ketika ada hambanya yang mengeluh kepada-Nya?
Marilah mengeluh kepada-Nya. Karena dengan mengeluh kepada-Nya lah kita akan benar-benar paham kekurangan dan menjadikan kita senantiasa berserah diri. Manusia itu lemah. Dan manusia itu kecil dengan segala ketidakberdayaannya. Maka dari itu, wajib bagi kita, manusia, mengeluh kepada yang memberi kehidupan. Berserah diri dengan mengakui secara terus terang segala kekurangan kita kepada Tuhan adalah sebentuk keluhan yang indah.