ILUSTRASI. (foto: planetsave.com)"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah (QS. Al Baqarah : 172)
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung" (QS. Al Jumu’ah : 10)
Alhamdulillah puji dan syukur kita ke hadirat Allah subhanahuwata’ala yang sampai dengan saat ini tak henti-hentinya melimpahkan rahmat dan hidayahNya bagi kita semua.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita umat manusia untuk mencari rezeki yang halal lagi baik dalam kita menjalani kehidupan ini dan tentunya tak lupa kita harus selalu bersyukur atas setiap nikmat yang diberikan, sekecil apapun itu dan seperti apapun itu rezki yang Allah subhanahuwata’ala berikan kepada kita.
Kemarin saya berbincang-bincang dengan seorang penjual roti keliling yang membuat saya cukup kaget dengan yang dihasilkannya. Setiap harinya beliau selalu berkeliling dengan motor dan gerobak rotinya dengan menghabiskan 600-700 buah roti. Ada sepatah kata gurauan saya yang mengatakan padanya, tentu tidak sedikit keuntungan yang didapatkannya. Beliaupun kemudian menjelaskan bahwa ternyata dalam satu bulan beliau bersih dapat menyisihkan sebesar 3jt rupiah untuk keluarganya di rumah. Subhanallah
Ini adalah sepenggal cerita kisah seor`ng tukang roti yang mungkin jika kita melihat dengan kaca mata pendidikan kita, gaya hidup kita, tentunya profesi itu bukanlah suatu hal yang layak bagi diri kita.
Saya ingin bercerita satu lagi tentang penggalan hidup orang-orang yang bisa menginspirasi kita untuk tidak memilah-milah yang ini layak dan yang ini tidak dalam kehidupan kita.
Seorang Sarjana Agama yang setiap harinya beraktifitas tepat di seberang jalan rumah saya. Kebetulan kami sama-sama perantauan dan dari provinsi yang sama. Orangnya ramah, baik dan suka bertegur sapa. Telah mempunyai 2 orang anak dan 1 istri. Setiap bulan Alhamdulillah beliau bisa menghasilkan 5jt rupiah dari profesi yang dijalaninya saat ini, yaitu seorang tukang pangkas.
Mungkin kening kita akan berkerut ketika mendengarkan hal ini. Seorang Sarjana Agama yang berakhir pada gunting dan sisir. Tapi justru hal tersebut tidak membuatnya meremehkan profesi yang saat ini sedang dijalani. Memang masih ada keluhan di sana sini pada dirinya ketika bercerita yang bermuara pada layak dan tidak layaknya profesi ini.
Allah subhanahu wa ta’ala memberikan begitu banyak karunia kepada ummat manusia di dunia ini. Tidak terbatas apapun itu profesinya. Yang berbeda mungkin bagaimana cara kita dapat memilah-milah bahwa ini memang merupakan karunia Allah subhanahu wa ta’ala yang patut disyukuri atau justru ini bukan merupakan karunia dimana kita harus menjauhinya.
Allah subhanahu wa ta’ala-pun tidak mempersulit kita ketika kita bertebaran di dunia ini. Cukup simpel, hanya dengan mencari karuniaNya kemudian ditambah dengan resep selalu ingat kepada-Nya maka keuntungan itu akan kita dapatkan.
Lalu hari ini, entah kenapa banyak pemuda yang menganggur, atau bahkan menunda pernikahannya dengan jawaban belum memiliki pekerjaan yang layak!
Mari kita bersama mencoba untuk berfikir, dimanakah letak layak dan tidak layaknya suatu profesi bagi diri kita? Dan saya rasa hal ini bukan hanya pemuda yang harus memikirkannya tapi juga para orang tua yang selalu setia mendoktrinkan hal ini kepada anak-anak mereka dengan perkataan dan tak jarang meremehkan sebuah profesi dengan membaginya menjadi yang ini layak dan yang ini tidak layak.
Rasulullah shalallahu’alahi wassalam dahulunya hanyalah seorang pedagang yang berjualan layaknya pedagang lainnya, begitupun dengan sahabat-sahabat Rasulullah shalallahu’alahi wassalam lainnya. Tak jarang kita temui sahabat-sahabat Rasul yang sangat dimuliakan ternyata adalah seorang budak, seorang pengembala, seorang pekerja kebun. Tapi kemudian Rasulullah shalallahu’alahi wassalam tak pernah sekalipun memilah-milah mereka dengan sahabat-sahabat Rasulullah shalallahu’alahi wassalam lainnya yang hidup mewah dan serba berkecukupan terkecuali sebuah profesi itu dikatakan yang ini halal dan yang ini haram.
Lalu kenapa kita kemudian mencoba memilah-milah hal ini menjadi antara layak dan tidak layak. Sepatah kata yang cukup bijak untuk didengarkan bahwa untuk menikah itu sebenarnya tidak diperlukan pekerjaan tetapi yang diperlukan adalah tetap bekerja. Ya itulah konsepnya menurut saya.
Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak mengatakan bahwa profesi dengan dasi yang tergantung di leher seseorang lebih layak daripada sapu yang lengket di tangan seseorang di jalan-jalan. Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak mengatakan bahwa profesi dengan pena di tangan seseorang untuk setiap saat menandatangani surat-surat berharga lebih layak dari gunting, sisir dan pisau cukur yang juga berada di tangan seseorang lainnya.
Allah subhanahu wa ta’ala hanya memerintahkan kita untuk bertebaran dan mencari rezki-rezki yang halal lagi baik untuk diri kita dan juga untuk keluarga kita tanpa ada pemilah-milahan bahwa yang ini layak dan yang ini tidak layak.
Hal ini sepertinya harus kita benar-benarkan pahamkan pada pola fikir kita dan pada hati kita. Tak heran kita temui seseorang rela membayar ratusan juta rupiah hanya untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang menurutnya layak untuk dirinya. Tak heran pula kita temui seorang wanita rela menjual dirinya hanya untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang menurutnya layak untuk dirinya. Lalu menjadi sebuah pertanyaan DIMANAKAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA? Yang bahkan pekerjaan itu sebenarnya tidak baik untuk dirinya dan keluarganya, dan menjadi sebuah profesi yang tidak layak jika kemudian ditempuh dengan cara-cara yang tidak dihalalkan oleh Allah subhanahuwata’ala.
Kita harus bersama-sama merubah mhndset kita tentang arti layak dan tidak layak ini, khususnya juga bagi para orang tua yang melakukan doktrin penuh ketidakjelasan ini kepada anak-anak mereka. Bahwa profesi ini layak untuk kamu dan profesi ini tidak layak untuk kamu walaupun profesi tersebut halal dalam pandangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Jikapun saya harus membaginya menjadi profesi yang layak dan tidak layak, hanyalah ketika seseorang diberikan profesi oleh Allah subhanahu wa ta’ala tetapi dia tidak bisa menjaga keamanahannya dan lupa untuk bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, hal ini menjadikan sebuah profesi yang seharusnya layak menjadi tidak layak baginya. Lalu kapan dia menjadi layak? Ketika seseorang tidak memandang apapun itu berkah Alalh subhanahu wa ta’ala yang diturunkan padanya, selama dia masih bisa amanah dan keimananya semakin bertambah-tambah dengan berbagai kondisi yang ada, maka profesi apapun itu, itu adalah profesi yang layak.
Marilah ikhwah dan saudaraku ummat muslim, kita ubah mindset kita tentang hal yang layak dan tidak layak ini. Dengan saling menghargai dan menghormati, tidak memandang rendah orang lain apapun itu profesinya, saya yakin islam akan kembali jaya dan kembali pada posisi yang seharusnya ketika kita bisa saling menghargai dan lebih mengutamakan ketaqwaan disisi Allah subhanahu wa ta'ala
Wallahualam. Layak atau tidak layak sesungguhnya itu hanya wewenang Allah subhanahu wa ta’ala untuk menetapkannya.
(Faguza Abdullah/ Islamedia.web.id)