REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas
Sudah menjadi tradisi di Tanah Air kita, umumnya masjid-masjid dan mushala menyediakan kotak infak. Sebuah kotak infak berukuran besar di letakkan secara permanen di bagian yang dianggap strategis, bisa di teras sebelum pintu masuk, atau di bagian dalam langsung setelah pintu masuk.
Sudah menjadi tradisi di Tanah Air kita, umumnya masjid-masjid dan mushala menyediakan kotak infak. Sebuah kotak infak berukuran besar di letakkan secara permanen di bagian yang dianggap strategis, bisa di teras sebelum pintu masuk, atau di bagian dalam langsung setelah pintu masuk.
Jika ada pengajian, kotak infak diedarkan keliling. Begitu juga waktu penyelenggaraan shalat Jumat, tidak lupa beberapa kotak infak diedarkan dari shaf depan hingga paling belakang. Biasanya jumlah infak pada hari Jumat lebih banyak dibanding dengan infak waktu pengajian.
Begitu jugalah yang terjadi pada sebuah masjid di salah satu kota/kabupaten di Jawa Tengah. Setiap selesai rangkaian ibadah Jumat, beberapa orang takmir, kadang-kadang dibantu oleh jamaah mulai membuka kotak infak dan menghitungnya. Isi kotak infak didominasi uang recehan Rp 500, Rp 1.000, dan Rp 2.000. Sesekali terdapat uang Rp 50 ribu, Rp 20 rhbu, dan Rp 10 ribu.
Tetapi yang menarik perhatian, pada setiap Jumat selalu ada satu lembar uang Rp 50 ribu. Lembaran uang tersebut selalu tampil sendirian, kesepian, tidak ada temannya. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun selalu ada uang lembaran Rp 50 ribu sendirian. Siapa dermawan itu, tak seorang pun tahu.
Sang dermawan tidak pernah sekalipun memperlihatkan uang Rp 50 ribuan tersebut, baik sengaja ataupun tidak kepada jamaah di sampingnya. Barangkali uang itu memang sudah disiapkannya sedemikian rupa dari rumah, dilipat kecil-kecil, di letakkan di kantong baju, sehingga tidak terlihat orang lain. Begitu kotak infak lewat di depannya, maka tangan kanannya langsung memasukkan uang tersebut ke dalam kotak sambil ditutup dengan tangan kirinya.
Begitu jugalah yang terjadi pada sebuah masjid di salah satu kota/kabupaten di Jawa Tengah. Setiap selesai rangkaian ibadah Jumat, beberapa orang takmir, kadang-kadang dibantu oleh jamaah mulai membuka kotak infak dan menghitungnya. Isi kotak infak didominasi uang recehan Rp 500, Rp 1.000, dan Rp 2.000. Sesekali terdapat uang Rp 50 ribu, Rp 20 rhbu, dan Rp 10 ribu.
Tetapi yang menarik perhatian, pada setiap Jumat selalu ada satu lembar uang Rp 50 ribu. Lembaran uang tersebut selalu tampil sendirian, kesepian, tidak ada temannya. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun selalu ada uang lembaran Rp 50 ribu sendirian. Siapa dermawan itu, tak seorang pun tahu.
Sang dermawan tidak pernah sekalipun memperlihatkan uang Rp 50 ribuan tersebut, baik sengaja ataupun tidak kepada jamaah di sampingnya. Barangkali uang itu memang sudah disiapkannya sedemikian rupa dari rumah, dilipat kecil-kecil, di letakkan di kantong baju, sehingga tidak terlihat orang lain. Begitu kotak infak lewat di depannya, maka tangan kanannya langsung memasukkan uang tersebut ke dalam kotak sambil ditutup dengan tangan kirinya.
Bukan berarti menutupi tangan itu karena yang disumbangkan lebih kecil, lebih besar atau malu karena terlihat orang di sampingnya. Ia berinfak ikhlas karena Allah. Orang yang berinfak dan tidak diketahui oleh yang lain, maka dia akan mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat nanti. (Shahih Muslim No 1712).
Alhasil, selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang tahu siapa dermawan itu. Pada suatu Jumat, tiba-tiba petugas infak tak menemukan lagi uang Rp 50 ribu itu. Para penghitung saling berpandangan dan bertanya-tanya. Pada Jumat berikutnya mereka tak menemukan uang serupa. Begitu seterusnya. Para penghitung, termasuk takmir masjid jadi penasaran. Mulailah pengurus serius menyelidikinya. Akhirnya pertanyaan itu terjawab.
Pada suatu hari sehabis mengisi pengajian di masjid tersebut, saya diajak oleh pengurus masjid makan di sebuah rumah makan tidak jauh dari masjid. Sewaktu makan-makan itulah seorang pengurus menceritakan kisah uang tersebut. “Ustaz tahu, siapa dermawan itu?” tanya seorang pengurus dengan serius. Dengan antusias saya menunggu jawabannya. Pengurus itu meneruskan ucapannya: “Dermawan itu adalah Pak Haji pemilik rumah makan ini.” Saya menyelidik, “Dari mana Anda tahu?”
“Sebab, uang Rp 50 ribu itu menghilang persis dua hari setelah Pak Haji pemilik rumah makan ini meninggal dunia. Sejak itulah, uang tersebut tak pernah lagi ditemukan.” Semoga Allah SWT memberi ganjaran berlipat ganda akan kedermawanan dan keikhlasan Pak Haji tersebut.
Alhasil, selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang tahu siapa dermawan itu. Pada suatu Jumat, tiba-tiba petugas infak tak menemukan lagi uang Rp 50 ribu itu. Para penghitung saling berpandangan dan bertanya-tanya. Pada Jumat berikutnya mereka tak menemukan uang serupa. Begitu seterusnya. Para penghitung, termasuk takmir masjid jadi penasaran. Mulailah pengurus serius menyelidikinya. Akhirnya pertanyaan itu terjawab.
Pada suatu hari sehabis mengisi pengajian di masjid tersebut, saya diajak oleh pengurus masjid makan di sebuah rumah makan tidak jauh dari masjid. Sewaktu makan-makan itulah seorang pengurus menceritakan kisah uang tersebut. “Ustaz tahu, siapa dermawan itu?” tanya seorang pengurus dengan serius. Dengan antusias saya menunggu jawabannya. Pengurus itu meneruskan ucapannya: “Dermawan itu adalah Pak Haji pemilik rumah makan ini.” Saya menyelidik, “Dari mana Anda tahu?”
“Sebab, uang Rp 50 ribu itu menghilang persis dua hari setelah Pak Haji pemilik rumah makan ini meninggal dunia. Sejak itulah, uang tersebut tak pernah lagi ditemukan.” Semoga Allah SWT memberi ganjaran berlipat ganda akan kedermawanan dan keikhlasan Pak Haji tersebut.