Pangeran Samber Nyawa, Soeharto, dan SBY



Jumat (24/2/2012) pagi pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka Musyawarah Nasional IX Generasi Muda Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan dan Putra-putri TNI-Polri di Pondok Gede, Jakarta. SBY mendukung apa yang diserukan GM FKPPI agar terjadi perubahan paradigma dan perilaku gerakan kepemudaan dari yang bernuansa demonstratif menjadi gerakan intelektualisme.

”Kita ingin negara kita kaya akan paradigma seperti itu sehingga tidak kering idealisme dan bisa menata serta membangun diri lebih baik. Saya harap FKPPI menjadi dan memberi contoh memperkuat persaudaraan dan solidaritas serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa,” begitu antara lain cuplikan kata-kata SBY dalam pidatonya.

Ajaran Samber Nyawa

Pertemuan SBY dengan GM FKPPI ini mengingatkan pertemuan serupa 17 tahun lalu di tanah pertanian dan peternakan di Tapos, Bogor, Jawa Barat, antara Presiden Soeharto dan FKPPI. Dalam pertemuan hari Minggu, 18 Juni 1995, itu, selain menjelaskan tentang posisi ABRI di DPR/MPR, Soeharto juga menjelaskan tentang filsafat hidup sesuai dengan ajaran Pangeran Samber Nyawa atau Kanjeng Gusti Mangkunegara I (1757-1795).

Di masa itu, kata Soeharto, walaupun belum ada pemerintahan sistem republik, yakni masih kerajaan, tetapi telah dikembangkan kepemimpinan demokratis, yaitu menempatkan kepentingan rakyat sebagai yang utama. ”Salah satu wasiat peninggalan Kanjeng Gusti Mangkunegara atau Pangeran Samber Nyawa ialah yang disebut Tridharma waktu berjuang melawan VOC atau Belanda. Beliau memberikan ajaran itu kepada para pengikutnya, kepada para kawulanya, sebagai pegangan hidup,” ujar Soeharto di kawasan yang dingin dan saat itu sapi-sapi sedang melenguh-lenguh.

Menurut Soeharto, Pangeran Samber Nyawa mengajarkan bahwa dalam membela negara seluruh bangsa hendaknya rumangsa melu handarbeni (merasa memiliki), wajib melu hangrungkebi (merasa ikut membela). ”Ajaran ketiga adalah mulat sarira hangrasa wani atau mawas diri. Kita perlu selalu mawas diri apakah darma kesatu dan kedua sudah ada dalam diri kita,” ujar Soeharto saat itu.

Ketika terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) tahun 1983/1984, Soeharto memberi instruksi kepada Menteri Tenaga Kerja Sudomo untuk mencoba menerapkan ajaran Pangeran Samber Nyawa itu guna menyelesaikan masalah yang terjadi. Ketika itu, Sudomo banyak turun ke perusahaan-perusahaan besar yang mulai menggunakan tenaga mesin untuk menggantikan manusia. Sudomo berdialog dengan para pengusaha dan buruh. Dalam dialognya, Sudomo mencoba menyerukan ajaran Tridharma ini.

Ketika di Tapos itu Soeharto juga mengajarkan tentang filsafat kepemimpinan yang didalami dari dunia pewayangan, yaitu di masa Ramayana (Rama dan Shinta). Ini merupakan ajaran Hastabrata atau pegangan untuk mereka yang sedang menjadi pemimpin masyarakat.

”Ketika berkelana di hutan belantara, Prabu Rama mengajarkan kepada salah seorang adiknya, Baratha, untuk mempelajari sifat dan laku alam semesta ini, yaitu samudra, angkasa, angin, matahari, bulan, api, dan bintang,” ujar Soeharto ketika itu.

Selama tahun 1995 itu, beberapa kali Soeharto berkisah tentang ajaran wayang dan Pangeran Samber Nyawa. Kini, makam Soeharto tidak jauh dari makam Pangeran Samber Nyawa. Kedua makam itu kini didatangi banyak orang dari berbagai tempat di Indonesia, terutama mereka yang ingin jadi pemimpin atau mencari pemimpin bangsa. (J Osdar)