Singkong Tenagai Motor





DI tengah kegalauan masyarakat tentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis bensin, sebuah terobosan mulai dilakukan di Jawa Barat. Sejumlah kelompok masyarakat mulai mengolah singkong menjadi bio-etanol pengganti bensin, dan memakainya sebagai BBM kendaraan.

Sepak terjang kelompok masyarakat itu selalu mempromosikan “Gerakan Cinta Singkong”. Gerakan itu mendapat dukungan penuh dari Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf. “Singkong selama ini selalu dipandang rendah sebagai makanan murahan dan merusak lahan. Kami ingin mengubah persepsi itu,” kata Dede, Jumat (2/3/12) di Gedung Sate, Jln. Diponegoro No. 22, Kota Bandung.

Tidak semata-mata ucapan, Dede mempraktikkannya setiap berkunjung ke berbagai daerah ketika menggunakan motor trailnya. Termasuk saat menjalani hobi motor trailnya tersebut. “Saya selalu memakai bio-etanol singkong itu sejak tahun lalu. Porsinya fifty-fifty. Setengahnya bensin biasa, setengahnya bio-etanol. Dan alhamdulillah lancar-lancar saja. Tarikan mesin lebih gahar dan bertenaga,” katanya.

Dede menuturkan, sebenarnya bisa saja seluruh pasokan di motornya memakai bio-etanol. “Tapi tidak cocok karena oktannya tinggi. Lebih dari pertamax. Bio-etanol singkong ini lebih cocok dipakai untuk kendaraan-kendaraan yang dipacu dengan rpm tinggi seperti motor balap atau mobil balap,” ucapnya.

Ketertarikan Dede terhadap bio-etanol singkong itu untuk membuka kesadaran masyarakat dan pemerintah soal kemandirian energi dan pangan. Melalui singkong, dua hal itu bisa diantisipasi. “Bahan bakar fosil di Indonesia akan habis dalam 25 tahun ke depan. Sementara untuk dunia, diprediksi bakal habis 50 tahun lagi. Dan ini saatnya untuk memulai walaupun bisa dikatakan terlambat karena negara-negara lain sudah melakukannya sejak jauh hari,” katanya.

Dede menjelaskan, sebagai pilot project, telah ada sekitar 2.000 hektare kebun singkong yang tersebar di beberapa kabupaten di Jabar antara lain Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya, Kab. Indramayu, Kab. Cianjur, dan Kab. Bogor. “Kami memanfaatkan lahan-lahan tidur di daerah itu dan menyertakan warga setempat. Itu penting agar nanti masyarakat pun bisa melakukannya di lahan-lahan tidur lainnya,” ujarnya.

Menurut Dede, singkong yang ditanam bukan singkong biasa. Jika singkong biasa, dari satu batang menghasilkan sekitar 5 kilogram singkong. “Kalau ini singkong hibrid dari hasil kultur jaringan. Jadi dari satu batang, bisa menghasilkan 30-40 kilogram,” ucapnya.

Singkong hibrid itu bisa disebut bibit unggul. Bisa tumbuh dengan baik di berbagai ketinggian mulai dari 0 meter dpl (di bawah permukaan laut) hingga 1.400 meter dpl. “Airnya pun tidak banyak. Bisa cukup dari air hujan. Dan yang terpenting, pupuknya bukan pupuk kimia. Pupuknya berasal dari ampas singkong itu. Kami menyebutnya pupuk bakteri karena dari bakteri di ampas singkong tadi,” ujarnya.

Dari 2.000 hektare kebun singkong tadi, bisa menghasilkan sekitar 2.000 liter bio-etanol. Artinya, hasil panen singkong hibrid dari 1 hektare lahan, menghasilkan sekitar 1 liter bio-etanol.

“Singkong-singkong itu difermentasi dan diambil acinya. Itu sekitar 10 persen dari hasil panen. Sembilan puluh persen sisanya bisa dimanfaatkan untuk tepung, makanan ternak, pupuk, dan lainnya. Sepuluh persen yang difermentasi itu nantinya didestilasi menghasilkan bio-etanol dengan oktan tinggi,” kata Dede.